"Kami setuju dengan pendapat anggota dewan, memang jumlah 10 operator sudah terlalu banyak. Wacana merger atau tepatnya konsolidasi yang diusulkan sudah kami prediksi jauh-jauh hari sejak 2006," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo, Gatot S Dewa Broto kepada detikINET, Senin (24/6/2013).
Menurutnya, merger maupun konsolidasi memang tak bisa dihindari lagi saat ini karena kompetisi yang kian ketat. Khususnya sejak diterbitkannya beleid penurunan tarif telepon sejak 1 April 2008 silam.
"Ada jokes menarik saat jajaran Kominfo dan para eksekutif operator pas breakfast meeting 2009 lalu. Sejak penurunan tarif, para bos operator kecil sempat ditanya, 'bagaimana pak, sudah berdarah-darah?'. Jawabnya, 'bukan berdarah-darah lagi, tapi sudah kering darahnya'," canda Gatot.
Selain kompetisi yang kian ketat, menurutnya pergeseran tren telekomunikasi juga telah membuat operator tidak lagi memerlukan SDM terlalu banyak, sehingga jika terjadi merger maupun konsolidasi bisa menghemat biaya operasional yang signifikan.
"Mulanya kami sengaja membiarkan konsolidasi ini terjadi karena seleksi alam, tapi bahaya juga, kalau sepenuhnya kita lepas juga jadi tidak sehat. Kami dan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) sedang membahas rambu-rambunya, supaya ada petunjuk biar tidak menabrak aturan," katanya.
Terkait usulan konsolidasi, Gatot juga mengomentari kabar tentang rencana merger akusisi antara XL Axiata dan Axis Telekom Indonesia. Menurutnya, rumor itu sudah sampai di kementerian. Bahkan, secara informal Gatot juga sudah mendapat kabar dari kubu sang operator tentang rencana itu.
"Tapi itu hanya informal saja. Sebelum kami mendapatkan written statement, kami anggap itu belum resmi. Seharusnya XL dan Axis terus terang saja, tidak usah berkelit. Beri pasar kepastian sehingga publik tidak menerka-nerka. Ini sama sekali tidak ada clue, belum terang," sesal Gatot.
Monopoli?
Selain itu, Kominfo juga menyarankan kepada XL dan Axis agar berkonsultasi dengan Kominfo dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) agar bisa mendapat kepastian tentang rencana merger akuisisi maupun konsolidasi.
"Dengan XL maupun Axis memaparkan ke publik, justru mereka yang diuntungkan karena bisa testing the water. Kalaupun ditolak, kan mereka jadi tahu bagaimana cara mengantisipasinya," sarannya.
Seperti diketahui, pembicaraan tentang rencana merger akuisisi ini belakangan kembali merebak setelah sumber di induk perusahaan XL, yakni Axiata di Malaysia, membocorkan rencana untuk mengambil alih Axis yang mayoritas sahamnya dimiliki Saudi Telecom Company (STC).
Saat ini XL menguasai frekuensi seluler di rentang spektrum 900 MHz, 2.100 MHz, dan 1.800 MHz baik untuk 2G maupun 3G. Sedangkan Axis memiliki dua kanal frekuensi di rentang spektrum 900 MHz dan 1800 MHz.
Dari sisi jumlah pelanggan, XL memiliki sekitar 45 juta dan Axis 17 juta. Sehingga jika digabungkan, keduanya total memiliki 62 juta pelanggan dengan lebar spektrum yang lumayan besar.
Gatot sendiri menilai jika rencana konsolidasi ini menjadi kenyataan, hal tersebut belum berpotensi menciptakan monopoli di industri. Sebab, dari sisi jumlah pelanggan saja keduanya masih kalah jauh dibandingkan Telkomsel yang sudah 125 juta lebih. Meski demikian, XL bisa melampaui Indosat dari posisi kedua terbesar.
"Itu sebabnya saya bilang, harusnya pihak XL dan Axis kasih pemberitahuan supaya tidak menebak-nebak. Tidak semata-mata struktur holding-nya bergabung, sebab di sini ada core bisnisnya, yaitu frekuensi dan numbering (penomoran). Dua itu sumber daya terbatas. Dari situ bisa dilihat, terjadi monopoli atau tidak. Nanti kami akan sinergis dengan KPPU," jelasnya.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio juga mengatakan proses konsolidasi di sektor telekomunikasi bisa menguntungkan konsumen. Sebab, kualitas pelayanan dan kapasitas jaringan akan semakin membaik.
Agus juga melihat rencana akuisisi Axis oleh XL tidak akan menciptakan monopoli di pasar telekomunikasi Indonesia, pasalnya bila kedua perusahaan tersebut bersinergi, penguasaan pasarnya masih di bawah 50%.
"Seandainya XL mengakuisisi Axis, hal itu tidak akan menciptakan monopoli. Jumlah pelanggan dari kedua perusahaan masih jauh dibawah Telkomsel. Harusnya publik bisa mendapatkan banyak manfaat bila XL dan Axis dapat bersinergi," ujarnya.
Proses konsolidasi di Indonesia sejatinya sudah terjadi sejak Smart Telecom bergandengan tangan dengan Mobile-8 Telecom (Fren) saat membentuk entitas baru bernama Smartfren. Meski demikian, jumlah operator di Indonesia masih terlalu banyak dibandingkan sejumlah negara di dunia.
Di negara yang penduduknya jauh lebih banyak dibanding Indonesia, di China misalnya, jumlah operator hanya tiga. Pun begitu di Amerika Serikat dan Australia yang hanya punya tiga operator.
"Saya melihat jumlah operator di Indonesia terlalu banyak. Di luar negeri saja cuma tiga, maksimal empat operator. Perlu penyederhanaan dalam rangka efisiensi penggunaan frekuensi dengan meminta yang kecil bergabung dengan yang besar," imbau Tantowi Yahya, Anggota Komisi I DPR.
Tidak Menjamin
Sementara di lain kesempatan, rencana akuisisi XL terhadap Axis ditanggapi dingin oleh kompetitornya. Konsolidasi yang dilakukan kedua entitas bisnis ini belum tentu menjamin pangsa pasar yang dimilikinya otomatis membesar.
"Tak ada jaminan jika dua operator melakukan konsolidasi pangsa pasarnya langsung naik. Bisa-bisa justru menurun di salah satunya karena fenomena multiple SIM card di Indonesia," kata Presiden Director & CEO Indosat Alexander Rusli di Jakarta, belum lama ini.
Dijelaskannya, multiple SIM card adalah fenomena dimana satu orang menggunakan lebih dari satu kartu. Indonesia berdasarkan survei rata-rata angka multiple SIM card adalah dua alias satu orang memegang minimal dua nomor telepon seluler.
"Kalau dipukul rata ada dua nomor. Tetapi kelas menegah justru bisa sampai empat karena ada yang khusus untuk data atau suara," jelasnya.
Dengan adanya fenomena ini, ketika dua operator melakukan konsolidasi, bisa saja pelanggan yang selama ini menggunakan jasa keduanya menjadi harus dimatikan salah satunya.
"Tidak bisa dong dalam proses pencatatan itu keduanya tercatat sebagai pelanggan yang sama kalau sudah konsolidasi," jelasnya.
Lebih lanjut Alex melihat wacana konsolidasi marak beredar karena operator mulai berhitung di masa depan terkait nasib sumber daya alam terbatas yang dimilikinya.
"Kalau dilihat sekarang itu konsolidasi lebih kepada memperkuat frekuensi yang dimiliki. Wacana ini yang digulirkan oleh pemain CDMA di 850 MHz demi menggelar LTE. Namun, hingga sekarang jalan di tempat karena itu tidak mudah realisasinya," pungkasnya.
(rou/rou)