TEMPO.CO, Jakarta - MENONTON film konser musik tak pernah bisa semerasuk ini. Atau, kalaupun ada yang sudah lebih dulu menggarap film semacam dengan canggih, apa yang disajikan sutradara Nimród Antal ini adalah cara dia membubungkan tingkat permainan.
Di satu bagian, dengan mata kita seolah-olah menempel di setiap kamera yang dioperasikan di 24 sudut panggung, kita menyaksikan dari dekat secara tiga dimensi adegan ini: sejumlah kru, dengan bantuan derek, menyusun satu demi satu irisan bagian sebuah patung raksasa; begitu figur patung itu berdiri utuh, yang tak lain adalah Sang Dewi Keadilan dalam keadaan »diperkosa”, intro ...And Justice for All menyeruak saksama dari pengeras suara.
Di layar, James Hetfield--rambut pirangnya dibiarkan pendek, tato bertebaran di leher dan lengannya--lalu terlihat menyanyi dengan intonasi tegas dan aura agresif, sambil memberondongkan riff »maut” dari gitarnya. »Halls of justice painted green/money talking....”
Ketika lagu yang mengkritik ketidakadilan sosial itu usai, dan patung Sang Dewi perlahan-lahan runtuh, bagian-bagiannya berserakan di panggung, tak ada hal lain yang bisa kita rasakan kecuali bahwa film sudah memasuki bagian-bagian dengan intensitas yang meninggi, mendekati klimaks. Sama intensnya dengan performa Hetfield dan kawan-kawan--Lars Ulrich, Kirk Hammett, dan Robert Trujilo; ya, mereka tergabung dalam Metallica, band thrash metal paling sukses dalam sejarah musik rock. Di setengah bagian film, Antal meningkatkan suasana hubar-habir, menumpuk-numpukkan aneka kegaduhan di panggung--ledakan, semburan api, tiang-tiang yang roboh--dan menyengitkan sekuens anarkistis di luar panggung.
Adegan-adegan yang disebut terakhir itu melibatkan Trip, pemuda yang digambarkan sebagai semacam kurir, yang ditugasi mengambil sebuah tas di satu truk yang rusak. Dari saat dia tiba di gedung tempat konser berlangsunglah kamera memulai film ini.
Sejak awal apa yang dialami Trip, termasuk perjalanannya yang ternyata semacam wisata ke neraka, sengaja dibuat berkelindan dengan apa yang berlangsung di panggung, saat Hetfield dan kawan-kawan membombardir audiens dengan lagu-lagu seperti Creeping Death, For Whom the Bell Tolls, Master of Puppets, dan Nothing Else Matters. Itulah yang menjadikan film berdurasi 90-an menit ini bukan sekadar rekaman konser. Setiap kali kamera berpindah dari dalam gedung pertunjukan ke jalanan, ke tempat Trip harus menjumpai bermacam-macam kejadian aneh serta ganjil dan bahkan berusaha menyelamatkan diri dari kematian, pada lagu dengan tema situasi itulah Hetfield dan kawan-kawan sedang bermain.
Film ini bisa disebut sebagai klip video berformat raksasa dengan durasi yang bersifat epik. Seperti kebanyakan klip video, plot cerita mengenai Trip yang mengandung banyak ketidakjelasan tak seharusnya mengganggu nalar. Justru itulah tampaknya yang diniatkan sejak dari gagasan: Metallica adalah band yang menyanyikan sisi-sisi gelap kehidupan. Kita bisa memahami semuanya hanya jika kita mengalaminya, dengan satu dan lain cara.
Kalaupun hal itu masih meleset dari impresi, selepas menonton film ini, terutama versi yang diputar di teater IMAX, rasanya kita tetap bakal bisa yakin satu hal: sedekat dan semenarik apa pun posisi kita menyaksikan konser musik, tak ada yang bisa melampaui pengalaman ketika kita bisa mendekati para musikus persis di tempatnya di panggung, dan seakan-akan mengendus napas dan menghirup keringat mereka.***
Metallica: Through the Never
Sutradara: Nimród Antal
Penulis: Nimród Antal, Metallica
Pemain: Dane DeHaan, James Hetfield, Lars Ulrich, Kirk Hammett, Robert Trujilo
PURWANTO SETIADI
Anda sedang membaca artikel tentang
Through the Never, Antah Berantah Metallica
Dengan url
http://mateofgod.blogspot.com/2013/10/through-never-antah-berantah-metallica.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Through the Never, Antah Berantah Metallica
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Through the Never, Antah Berantah Metallica
sebagai sumbernya